Saturday, December 31, 2016

Suatu Pagi di Hari Natal

Karya: Pearl S. Buck
=================

Dia terbangun tiba-tiba dan benar-benar terjaga. Saat itu pukul empat, jam saat ayahnya selalu menyuruhnya bangun untuk membantu memerah susu. Aneh, kebiasaan masa mudanya masih menempel padanya sampai sekarang!

Lima puluh tahun yang lalu, dan ayahnya telah meninggal selama tiga puluh tahun, namun ia masih terbangun pada pukul empat pagi. Dia telah membiasakan dirinya untuk berbalik dan tidur lagi; tapi pagi ini Natal, dia tidak berusaha tidur lagi.

Mengapa ia merasa begitu malam ini? Dia menyusuri kembali sang waktu, yang dilakukannya dengan mudah saat ini. Dia berusia lima belas tahun dan masih di tanah pertanian ayahnya. Dia mencintai ayahnya. Dia tidak tahu itu sampai suatu hari beberapa hari sebelum Natal, ketika ia mendengar apa yang dikatakan ayahnya kepada ibunya.

"Mary, aku sebenarnya tidak mau membangunkan Rob di pagi hari. Dia begitu cepat besar dan ia butuh tidur. Coba kamu lihat bagaimana tidurnya ketika aku pergi membangunkannya! Aku berharap bisa mengerjakan sendiri."

"Hm, kamu tidak bisa, Adam," suara ibunya cepat. "Selain itu, dia bukan anak kecil lagi. Saatnya ia mengambil tanggung jawab."

"Ya," kata ayahnya perlahan. "Tapi saya benar-benar tidak suka membangunkannya."

Ketika ia dengar kata-kata ini, sesuatu dalam dirinya berbicara: ayahnya mencintainya! Dia tidak pernah memikirkan itu sebelumnya, menganggap biasa hubungan darah mereka. Baik ayahnya maupun ibunya tidak pernah mengungkapkan bagaimana mereka menyayangi anak-anaknya -- mereka tidak ada waktu untuk hal-hal seperti itu. Selalu ada begitu banyak hal yang harus dilakukan di tanah pertanian.

Tapi sekarang ia tahu ayahnya mencintainya; dia tidak akan malas-malasan di pagi hari dan tidak perlu dipanggil lagi. Dia bangun, tersandung-sandung setengah tidur, dan memakai pakaiannya; matanya tertutup, tapi ia bangkit.

Dan kemudian pada malam sebelum Natal, tahun ketika ia berusia lima belas tahun, ia berbaring selama beberapa menit, berpikir tentang hari esoknya. Mereka miskin, dan sebagian besar kegembiraannya adalah pada masakan ayam kalkun yang mereka besarkan sendiri, dan kue pai yang dibuat ibunya. Saudara-saudara perempuannya menjahit hadiah-hadiah dan ibu serta ayahnya selalu membelikannya sesuatu yang diperlukan; tidak hanya jaket hangat, tapi juga sesuatu yang lebih penting, seperti misalnya buku. Dan ia juga menabung dan membelikan mereka semua sesuatu.

Harapannya, saat Natal ketika ia berusia lima belas tahun itu, ia punya suatu hadiah yang lebih baik untuk ayahnya. Seperti biasa ia pergi ke toko "sepuluh-sen" dan beli dasi. Tampak cukup bagus sampai ia berbaring berpikir malam sebelum Natal itu. Dia melihat keluar dari jendela lotengnya; bintang-bintang bersinar terang.

"Ayah," dia pernah tanya saat dia masih kecil, "Apa yang dimaksud dengan kandang?"

"Itu hanya gudang jerami," ayahnya menjawab, "seperti punya kita."

Kemudian Yesus telah lahir di gudang, dan ke gudang lah para gembala datang ...

Pikiran itu menohoknya seperti belati perak. Mengapa dia tidak memberikan ayahnya hadiah khusus juga, di luar sana di gudang? Dia bisa bangun pagi, lebih awal dari pukul  empat, ia bisa merayap ke kandang dan membereskan, memerah susu. Dia akan melakukannya sendiri, memerah susu dan membersihkan, dan kemudian ketika ayahnya datang dia akan melihat semua sudah selesai. Dan dia akan tahu siapa yang melakukannya. Dia tertawa sendiri sambil menatap bintang-bintang. Itulah yang akan dia lakukan, dan dia tidak boleh tidur terlalu lelap.

Dia mungkin terbangun dua puluh kali, menyalakan korek api setiap kali untuk melihat jam - tengah malam, lalu setengah dua, dan kemudian pukul dua.

Pada pukul tiga kurang seperempat dia bangkit dan mengenakan pakaiannya. Dia seperti merayap ke lantai bawah, berhati-hati agar papan tidak berderit, dan membawa dirinya keluar. Sapi menatapnya sambil mengantuk dan terkejut. Terlalu pagi bagi mereka juga.

Dia tidak pernah memerah sendirian sebelumnya, tapi tampaknya mudah. Dia terus memikirkan bagaimana ayahnya akan terkejut. Ayahnya akan datang dan membangunkan dia, lalu berkata bahwa dia akan mulai lebih dulu saat Rob berpakaian. Dia akan pergi ke kandang, membuka pintu, dan kemudian dia akan pergi mengambil dua kaleng susu kosong yang besar. Tapi kaleng-kaleng itu tidak akan menunggu kosong, mereka akan berdiri di rumah-susu itu, penuh.

"Waduh," ia seakan mendengar ayahnya berseru.

Dia tersenyum dan memerah terus, dua aliran yang kuat bergegas masuk ke ember, berbuih dan harum.

Tugas ini selesai dengan lebih mudah dari pada yang dia bayangkan sebelumnya. Untuk kali ini memerah bukan lagi suatu tugas. Itu sesuatu yang lain, hadiah untuk ayahnya yang mencintainya. Dia selesai, dua kaleng susu penuh, dan ia menutupinya, dan menutup pintu dengan hati-hati, memastikan gerendel terpasang.

Kembali di kamarnya, dia hanya punya satu menit untuk melepas pakaiannya dalam kegelapan dan melompat ke tempat tidur, karena ia mendengar ayahnya naik.  Dia menarik selimut ke atas kepalanya untuk meredam napasnya yang memburu. Pintu terbuka.

"Rob!" Ayahnya berkata. "Kita harus bangun, nak, sekalipun ini hari Natal."

"Aw-benar," katanya dengan mengantuk.

Pintu tertutup dan ia berbaring diam, tertawa sendiri. Hanya dalam beberapa menit ayahnya akan tahu. Hatinya menari, siap untuk melompat dari tubuhnya.

Menit-menit seperti tak ada habisnya -- sepuluh, lima belas, ia tidak tahu berapa banyak -- dan ia mendengar jejak ayahnya lagi. Pintu terbuka dan dia berbaring diam.

"Rob!"

"Ya,  ayah--"

Ayahnya tertawa, tawa aneh yang disertai isakan.

"Kau pikir kau akan menipu saya, kan?" Ayahnya berdiri di samping tempat tidurnya, meraba-raba mencari dia, menarik selimutnya.

"Ini untuk Natal, Yah!"

Dia menemukan ayahnya dan mencengkeramnya dalam pelukannya. Dia merasa pelukan ayahnya di sekeliling badannya. Saat itu gelap dan mereka tidak bisa saling lihat.

"Nak, terima kasih ya. Tidak ada orang yang pernah lebih baik"

"Oh, Ayah, aku ingin kau tahu -- aku ingin jadi baik!" Kata-kata itu keluar dari dirinya sekehendaknya sendiri. Dia tidak tahu harus berkata apa. Hatinya penuh dengan cinta.

Dia bangkit dan memakai pakaiannya lagi dan mereka pergi ke pohon Natal. Oh indahnya Natal ini, dan bagaimana hatinya nyaris meledak lagi dengan rasa malu dan bangga sementara ayahnya bercerita pada ibunya dan adik-adiknya mendengarkan bagaimana dia, Rob, telah bangun dan bekerja sendiri.

"Hadiah Natal terbaik yang pernah ayah peroleh, dan akan ayah ingat, nak, setiap tahun pada pagi hari Natal, seumur hidup." ...

Mereka berdua mengingatnya, dan sekarang setelah ayahnya meninggal, dia ingat sendiri: fajar Natal yang terberkati, ketika, dia, sendirian dengan sapi di kandang, mempersiapkan hadiah pertamanya demi cinta sejati.

Natal ini ia ingin menulis kartu untuk istrinya dan mengatakan padanya betapa ia mencintainya; sudah lama ia tidak mengatakannya, meskipun ia mencintainya dengan sangat istimewa, lebih dari yang pernah dimilikinya saat mereka masih muda. Dia beruntung istrinya mencintainya. Ah, itulah sukacita sejati dari kehidupan, kemampuan untuk mencintai. Cinta masih hidup dalam dirinya, masih.

Tiba-tiba terpikir olehnya bahwa cinta itu hidup karena lama sebelum ini dia lahir dalam dirinya saat ia tahu ayahnya mencintainya. Demikianlah: hanya cinta yang bisa membangkitkan cinta. Dan ia bisa memberikan hadiah itu lagi, dan lagi.  Pagi ini, pagi hari Natal yang terberkati ini, ia akan memberikannya kepada istri tercintanya. Dia bisa menuliskannya di surat untuk dibaca dan disimpan terus selamanya. Dia pergi ke mejanya dan mulai surat cintanya kepada istrinya: Kekasihku tersayang ...

Natal yang begitu amat membahagiakan!

Tuesday, December 27, 2016

Papa Panov

Bagian 2. Bagian 1 dapat dibaca pada tautan

di sini. Baca itu dulu, lanjutkan di sini...

========================

"Cobalah ini untuknya," katanya, sambil menyerahkan sepatu bayi itu pada ibunya. Sepatu kecil yang indah dan serasi. Gadis itu tersenyum gembira dan si bayi berdeguk kesenangan.
"Bapak begitu baik kepada kami," kata gadis itu, ketika dia bangun dengan bayinya untuk pergi. "Semoga semua harapan Natal bapak terkabul!"

Tapi Papa Panov mulai bertanya-tanya apakah harapan Natalnya yang sangat spesial akan terkabul. Mungkinkah tamunya telah lewat?

Dia melihat dengan cemas ke jalan, ke kanan dan ke kiri. Ada banyak orang,  tapi dia mengenal mereka semua. Ada tetangga yang akan mengunjungi keluarga mereka. Mereka mengangguk dan tersenyum padanya dan mengucapkan Selamat Natal! Atau para pengemis -- dan Papa Panov bergegas masuk ke dalam untuk mengambilkan mereka sup panas dan sepotong besar roti, dan bergegas keluar lagi agar dia tidak melewatkan orang Asing yang Penting itu.

Lalu dengan cepat senja musim dingin telah tiba. Ketika Papa Panov selanjutnya pergi ke pintu dan memicingkan matanya, ia tidak bisa lagi melihat orang-orang yang lewat.

Sebagian besar orang sudah di rumah dan di dalam ruangan sekarang ini. Akhirnya dia berjalan perlahan kembali ke kamarnya, memasang tirai jendelanya, dan duduk dengan letih di kursinya.

Jadi semua itu hanya mimpi. Yesus tidak datang.

Lalu tiba-tiba ia merasa bahwa ia tidak lagi sendirian di kamar.

Ini bukan mimpi karena dia sadar penuh. Pada awalnya dia seperti melihat di depan matanya barisan panjang orang-orang yang datang kepadanya hari itu. Dia melihat lagi si penyapu jalan yang tua itu, ibu muda dan bayinya, dan pengemis yang diberinya makanan.

Ketika mereka lewat, masing-masing berbisik, "Apakah kau tidak melihat aku, Papa Panov?"

"Kamu siapa?" ia berseru, bingung.

Lalu terdengar suara lain menjawab dia. Itu suara dari mimpinya, suara Yesus.

"Aku lapar, dan kamu memberi Aku makan," katanya. "Aku telanjang dan kau memberi Aku pakaian. Aku kedinginan dan engkau menghangatkan Aku. Aku datang kepadamu hari ini dalam setiap orang yang engkau bantu dan sambut."

Lalu semua diam dan sepi. Hanya suara jam besar yang berdetik. Kedamaian dan kebahagiaan tampak memenuhi ruangan, meluapkan hati Papa Panov sampai ia ingin meledak bernyanyi dan tertawa dan menari dengan sukacita.

"Jadi Dia datang juga akhirnya!" Hanya itu yang diucapkannya.
========================

Sunday, December 11, 2016

Maria Magdalena: Pengikut Yesus yg utama



Sbg Tuhan, Yesus tdk "kebetulan" lahir di kandang. Dia memilih... Dia juga tidak kebetulan MEMILIH Maria Magdalena sbg org pertama yg melihat Dia telah bangkit. Maria inilah yg menyampaikan kabar kebangkitan Yesus pd para rasul. Ini tonggak terpenting dlm ajaran Kristen. Maka St. Thomas Aquinas menyebutnya "rasul dr para rasul." Apostolorum apostola. Maria Magdalena penginjil yg pertama yg mengabarkan kebangkitan Tuhan. Yg kmdn diteruskan oleh para rasul ke seluruh dunia.

Tapi mengapa dia dijelek2kan? Selama hampir 2000 tahun identitasnya disamakan dengan pelacur. Pdhal dlm Injil tdk ada tulisan sedikit pun bhw wanita pendosa itu Maria Magdalena? Spt ada intrik terorganisasi utk menjatuhkan namanya yg harum... Yah, begitu lah. Inilah gereja kita, dengan segala keutamaan dan dosa2nya, kata Paus Fransiskus (pd kesempatan yg tdk terkait dengan ini.)

Maria Magdalena berarti Maria dari kota Magdala (bandingkan dengan Yusuf dari Arimatea, Yesus dari Nazareth, Saddam Hussein dr Takrit)... Ini keanehan. Krn pd masa itu, wanita biasa ditaruh di bwh bayang2 suami (Herodias, isteri Filipus) atau sbg ibu (Maria ibu Yakobus). Maria Magdalena berdiri sendiri, yg berarti dia mandiri, org yg dihormati. Pemimpin.

Dia juga bisa pergi kemana2 bersama rombongan Yesus. Mgkn sekali dia ikut membantu kebutuhan sandang pangan rombongan itu. Mgkn tdk sangat kaya raya, tapi punya cukup uang utk itu. Krn murid2 Yesus umumnya nelayan miskin.

Apakah kmdn dia mengabarkan Injil spt rasul lain? Mengapa tdk. Dia dulu dibebaskan oleh Yesus dr kuasa 7 roh jahat. Dr segi psikiatri modern, mgkn sekali dia punya sifat yg lain dr yg lain. Dia revolusioner. Berani ikut Yesus kemana2, sedang wanita lain tinggal di rmh. Dia pemberani. Dia datang seorang diri ke kubur Yesus (Yoh 20:1; pd Injil lain tidak sendiri). Dia ikuti Yesus smp di bwh kayu salib, sementara murid lainnya lari sembunyi.

Kemgknan besar dia tdk takut menyebarkan Injil. Dan memang ada ditemukan kitab Injil Maria (Magdalena), meski ini tidak diakui resmi oleh gereja. Bgmn pun, ini menunjukkan dulu ada wanita berpengaruh yg mengajar.

Lalu mengapa nama dia hilang? Krn kalah dlm pertempuran gender, kata ahli sejarah di luar gereja. Budaya yg mengutamakan pria tdk ingin memberi tempat pd wanita.

Pdhal Yesus sangat revolusioner. Dia biarkan Maria Magdalena mengikuti-Nya, melawan adat pd masa itu. Paulus juga sangat revolusioner. Bnyk murid utamanya dan pemimpin gereja lokal (zaman skg, mestinya imam) adalah wanita (Roma 16:1-3). Ini didukung oleh gambar2 zaman itu yg memperlihatkan Paulus diapit oleh dua wanita pengajar (ditandai dengan simbol dua jari yg diacungkan). Tapi saat ditemukan, dua jari dan mata kedua wanita ini dirusak org. Menunjukkan bhw ada org dlm gereja lokal yg tdk suka wanita jadi pemimpin umat.

Maka tulisan dlm surat Paulus, 1 Timotius 2:12,  "Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar..." diduga kuat adalah ayat sisipan org lain yg terlibat dlm perang gender ini. Ini bertentangan sama sekali dengan surat Roma tadi. Tapi ini juga menunjukkan, pd saat itu ada wanita yg mengajar: mgkn sekali Maria Magdalena.

Pertempuran ini diteruskan selama berabad2, smp akhirnya Maria Magdalena diidentikkan dengan wanita pendosa itu oleh seorang pejabat tinggi gereja. Dan ini dibiarkan smp th 1969 saat Konsili Vatikan II mencabut noda itu secara resmi. Ahli sejarah gereja akhirnya mengakui ahli sejarah luar gereja...

Kini,  3 Juni 2016 lalu, nama Maria Magdalena lebih dibersihkan lagi ketika Paus Fransiskus mengangkatnya; hari pestanya menjadi setara dengan rasul2 lain.

Sdh sehrsnya lah demikian. Maria Magdalena adalah rasul dr para rasul...

========================
* Di gereja Ortodoks Timur, tdk ada cerita yg mengaitkan Maria Magdalena dengan wanita pendosa itu.
**  Semua tulisan di atas hanya rangkaian dr tiga sumber di bwh ini. Saya sendiri krg peduli dengan perang gender, yg smp skg blm selesai ini 😄
*** Mohon koreksi kalau ada kesalahan. Krn ini ditulis dengan cepat.

1. NatGeo - https://youtu.be/Z8Nn8rXHD5w
2. https://aleteia.org/2016/06/10/mary-magdalene-apostle-to-the-apostles-given-equal-dignity-in-feast/
3. Siapa yg menjudutkan Maria Magdalena? http://www.uscatholic.org/articles/200806/who-framed-mary-magdalene-27585

*** Tulisan juga dimuat di sini: https://m.facebook.com/photo.php?fbid=346321522390719&id=100010386228288

Tuesday, November 29, 2016

Apologia

Tentang saya...


Sebagian orang bertanya2 tentang gambar profil yg saya pasang di FB. Foto patung Santo Fransiskus Assisi sbg pengemis (dia betul2 pengemis, lho). Kenapa tidak pakai foto saya saja, ya? Apakah ada yg perlu disembunyikan?  Org luar? Penyusup kah, yg mau merusak nama harum gereja, mungkin? Apalagi kritik2nya banyak tidak disukai org gereja...


Begini. Tujuan saya menulis ini hanya satu: meneruskan, menjadi loudspeaker,  suara Paus Fransiskus  (Sebgn umat tdk suka dengan revolusi paus, maka suara dia yg saya serukan dikira berasal dr saya pribadi.) Saya susah payah menulis bukan utk kemuliaan saya. Tdk utk kebanggaan saya. Tidak utk bermegah diri. Apalagi utk terkenal. 

Karena itu, biar Paus Fransiskus yg di depan. Biar saya di latar belakang. Tdk diketahui, tdk dikenal. Tanpa gambar. Hanya debu... Nama asli saya terpaksa dipasang krn ancaman Facebook; kalau tidak asli, dan nanti di-hack atau lupa password nya (terjadi satu kali pd saya), saya tdk akan bisa mendapatkan kembali akun asli saya... Tapi upaya rendah hati ini ternyata malah bikin masalah baru.

Hidup ini sulit. Serba salah. Kalau ingin lihat foto saya, pembaca yg mengikuti saya satu bulan ini pasti melihatnya di blog saya ini, yg sekali2 saya pasang link nya (bila saya rasa tulisan tsb. berisi data yg perlu saya simpan rapi di blog).

Tentang diri saya, bisa dicari di Google...

... ... Edit:  Deleted .... Tdk guna


*** Terpaksa dibuka, krn dicurigai. ***

Sebenarnya ini semua tidak perlu. Pohon dikenal dari buahnya. Baca saja tulisan2 saya secara keseluruhan. Tidak ada ujaran kebencian, penyesatan, atau hasutan yang tidak pada tempatnya. (menurut saya, tentunya). Kalau soal kritik, beda pendapat, bagi orang yg suka berpikir, itu wajar sekali. Yesus menyuruh kita berpikir. Kalau kritik diartikan kebencian dan penyesatan, mohon maaf saya berbeda pendapat. Paus menyebut "gereja, dengan keutamaan2 dan dosa2nya." (klik "Pope Francis, virtues and sins"). Gereja Katolik yang kita cintai ini, sebagai lembaga duniawi, bisa berdosa, pernah salah, sekarang pun juga, sehingga Paus Fransiskus dua minggu lalu meminta maaf pada kaum miskin di Roma...  Maka gereja dan ajarannya bisa dan boleh dikritik.

Semua didiskusikan dengan senyum kasih saja. Kalau dengan saudara kandung sendiri di dalam rumah tidak bisa komunikasi dengan santun, bagaimana mau menjadi "jembatan", pontifex, ke kelompok luar (Protestan, Islam, Buddha, Hindu, ateis), seperti yang diinginkan paus ?

Mari kita bersatu dalam kasih Kristus.... Amin.

Tuesday, November 15, 2016

Penguburan angkasa - Tibet


Puluhan atau ratusan burung pemakan bangkai di Tibet

Bila Anda suka dengan antropologi, coba buka Youtube dan cari: "sky burial, Tibet". Hanya yang kuat yang saya anjurkan untuk lihat. Karena agak seram.

Mereka punya beberapa kebiasaan untuk menguburkan jenazah. Yang ini, lewat penyerahan jenazah pada burung-burung untuk didaurulang di alam. Untuk mempermudah burung memakan, daging dikoyak dulu oleh petugas penguburan. Bila telah selesai dan tinggal tulang dengan sedikit daging, petugas akan memotong-motong tulang sampai kecil, sehingga mudah ditelan burung ruak2 itu.

Sempurna. Dari alam kembali ke alam. Sadis? Kalau berkata demikian, Anda belum pernah melihat cara penyelesaian kremasi tradisional. 

Pada kremasi cara tradisional, tulang-tulang yang besar juga masih utuh. Maka untuk mempermudah membawa abu dalam kantong atau guci, tulang tengkorak, tulang paha, dll. itu harus ditumbuk dengan palu dalam lumpang. Ya. Tengkorak ibu atau ayah Anda harus Anda palu... Nah. Apa bedanya dengan yang di Tibet? Cara modern lebih praktis. Pakai blender. Cara ini sepertinya lebih "manusiawi".  Tapi pada hakikatnya tidak ada bedanya. Hanya kita tidak melihatnya. Menyuruh petugas saja... Persis seperti penguburan jenazah di Tibet tadi, dan kita tidak datang ke situ.

Tulang-tulang akan dihancurkan dalam lumpang.

Ini tidak beradab? Tolong pikirkan. Kalau dikubur, apa yang terjadi dengan jenazah?  Jenazah dimakan oleh hewan-hewan kecil: tikus, cacing, serangga, semut, dan yang terkecil, kuman-kuman. Sama saja. Jenazah akan didaurulang di alam. Cuma kita tidak melihat. Sama dengan penguburan ala Tibet. Dimakan hewan yang lebih besar. Hanya kita tidak datang ke situ. Tidak lihat...

Hewan kecil lebih mulia dari yang besar? Entahlah. Pikir sendiri-sendiri saja...

Monday, November 14, 2016

Kremasi dalam Gereja Katolik: Catatan pribadi



Ringkasan dari peraturan terbaru
tentang kremasi dalam Gereja Katolik
Dibuat pada Maret 2016, disiarkan akhir Oktober 2016

Columbarium Oasis (rumah abu), Tangeran, milik Badan Pensiun KWI

Tolong baca lebih dulu peraturan lengkapnya pada tautan dari kantor berita Vatikan di sini (tertulis juga di bawah tulisan ini).   

Peraturan Kremasi

Butir 1, 2, 3. Pertimbangan dan alasan-alasan.

Aturan no. 4... ... Gereja lebih memilih praktek mengubur jenazah, karena ini menunjukkan penghargaan yang lebih besar terhadap almarhum. Namun, kremasi tidak dilarang, "kecuali itu dipilih karena alasan yang bertentangan dengan ajaran Kristen".

Catatan saya: Perhatikan frase "menunjukkan penghargaan". Gereja, dalam hal ini diwakili oleh kardinal dari etnis Eropa, terbiasa dengan cara penguburan di sana. Dia tidak terbiasa hidup di Eskimo, di mana jenazah tidak bisa dikubur; tidak biasa bekerja di kapal besar di mana dahulu jenazah pelaut dihormati lalu dibuang ke laut; dia tidak biasa hidup di Tibet, di mana sebagian orang mengubur jenazah di udara, artinya menyerahkan jenazah untuk dimakan burung pemakan bangkai (baca ini); kardinal seharusnya juga datang ke Indonesia, melihat adat penguburan orang Toraja dan Bali Trunyan.

Dalam kata "penghormatan lebih besar" terkandung pengertian beradab atau tidak beradab, budaya maju atau terbelakang. Sungguh tidak tepat kalau mengatakan berbagai komunitas yang disebut di atas tadi tidak beradab dan terbelakang. Sangat disayangkan bahwa keragaman masyarakat di bumi ini, dengan semua kekhasannya, direduksi menjadi "budaya saya yang benar." Salah besar bila mengatakan orang Tibet dan Eskimo tidak menyayangi orang tua atau kaum kerabatnya; seolah2 yang memiliki empati hanya kalangan kita sendiri. Kerabat yang ditinggal mati itu menangis, amat sedih, tidak rela, tidak berdaya. Sama seperti kita. Tapi mereka punya cara sendiri mengurus jenazah orang terkasihnya. Jangan usik tradisi orang lain. Jangan menghakimi...

Pemakaian frase "alasan yang bertentangan dengan ajaran Kristen" kurang bijaksana. Coba tanya pada 100 keluarga yang kehilangan keluarga, apa arti dari kalimat tadi. Kalau ada 5 yang tahu, itu sudah luar biasa. Lalu, teoretis, bukanlah pastor atau romo harus bertanya pada keluarga-keluarga yang sedang berduka itu: apa alasanmu melakukan kremasi? Sangat tidak bijaksana.


Aturan no. 5. Penempatan abu almarhum di tempat suci (red. rumah abu) memastikan bahwa mereka tidak tersingkir dari doa-doa dan peringatan dari keluarga atau komunitas Kristen. Ini mencegah orang beriman itu terlupakan atau sisa-sisa jasadnya kurang dihormati, yang kemungkinan akan terjadi, terutama bila generasi anak telah meninggal. Ini juga mencegah praktik-praktik takhyul....


Catatan saya: Lucu sekali bahwa dikatakan kalau ditaruh di rumah abu, maka orang akan ingat dan mendoakannya. Mungkin kardinal perlu mengunjungi rumah abu Oasis atau di wihara2 di Jakarta dan bertanya, berapa kali keluarga datang menjenguk untuk berdoa tiap tahun. Kalau sungguh-sungguh itu alasannya, pakailah adat Cina. Taruh foto almarhum di tempat yang terhormat di rumah. Beri lilin, atau pakai lilin elektrik saja. Nyalakan 24 jam. Berdoalah di depannya tiap hari, pagi sore, seperti dilakukan mereka. Ya. Pagi sore. Kalau kardinal dibesarkan di keluarga keturunan Cina di Medan, Batam, Singapura, atau Kuala Lumpur, mungkin sekali adat ini yang dianjurkan olehnya.

Lalu soal praktek takhyul? Abu jenazah ditaruh di mana saja juga bisa digunakan untuk takhyul. Takhyul berkaitan dengan otak. Bukan dengan tempat. Benar bukan?


Aturan no. 6. Karena alasan-alasan di atas, abu almarhum tidak boleh ditaruh di rumah.

Catatan saya: Entah alasan yang mana yang dimaksud. Tapi semua sudah dibahas di atas. Khususnya orang perlu melihat bagaimana keluarga-keluarga keturunan Cina menyimpan dan menghormati abu di rumah. Jauh lebih sering didoakan daripada bila ditaruh di columbarium atau rumah abu yang jauh.

Mungkin yang ditakutkan adalah penyimpanan abu seenaknya. Ada keluarga di Amerika yang konon menyimpannya di WC... Kalau ini yang dikhawatirkan, aturan diubah saja: taruh abu di tempat terhormat di rumah, atau kamu masuk neraka. Gampang kok.

Aturan no.7. Untuk menghindari setiap penampilan panteisme, naturalisme atau nihilisme, tidak diizinkan untuk menyebarkan abu dari orang beriman di udara, di darat, di laut atau cara-cara lain, atau menaruhnya sebagai kenang-kenangan dalam perhiasan (cenderamata)....

Catatan saya: Teman2 terkasih, saya ingin tanya terus terang. Berapa dari antara Anda yang sungguh-sungguh tahu makna dari "panteisme, naturalisme atau nihilisme" dalam kaitan dengan penyebaran abu di laut. Saya terus terang tidak tahu apa-apa... Lalu konotasinya, kalau tidak untuk alasan "panteisme, naturalisme atau nihilisme", abu mestinya boleh dibuang. Bukan langsung tidak boleh.

Lalu romo lagi-lagi harus bertanya atau menerangkan dengan susah payah pada keluarga yang sedang berduka itu, apa arti kalimat tadi. Sepertinya kita diajari untuk buang empati oleh petugas gereja yang bikin aturan.
Aturan no. 8. Bila almarhum dengan jelas telah meminta kremasi dan menebar abunya karena alasan yang bertentangan dengan iman Kristen, pemakaman Kristen harus ditolak untuk orang itu sesuai dengan norma-norma hukum (gereja).
Penutup. ...

Gerhard Cardinal Müller, Prefek dr Kongregasi bagi Doktrin Iman.
Catatan saya: Aturan nomor 8, aturan penutup ini paling sadis dari semuanya. Tidak tergambar belas kasih yang didengung2kan oleh Paus Fransiskus. Yang terdengar adalah deru hardikan gereja yang kejam dan bengis; gereja pada Abad Pertengahan.

Kalau diambil analogi yang sejajar dengan ini, semua orang Kristen yang meninggal harus diselidiki kehidupannya. Apa dia sungguh percaya pada Tuhan dan Yesus. Apa hidupnya baik atau pernah menyatakan hal-hal yang tentangan dengan iman Kristen. Dan kalau iya, dia tentunya juga tidak boleh dimakamkan secara Kristen. Ke neraka aja... My God... !

Di saat gereja sekarang memperbolehkan misa untuk orang yang bunuh diri, ada aturan baru semacam ini. Saya sungguh kecewa berat.

Akhir kata, ini adalah luapan kekecewaan saya, berawal dari cara pikir saya. Mungkin juga cara pikir saya salah...  Amin.

========================
Baca diskusi lebih lanjut di FB.com/gerejamiskin.

Intinya: Gereja tidak seharusnya masuk ke ranah yang bukan wilayahnya; ranah tradisi. Atau gereja akan melakukan kesalahan lagi, seperti berkali-kali terjadi di masa lalu.

Anggap aturan di atas sebagai anjuran. Mau diikuti silakan, tidak juga tidak masalah. Karena roh almarhum yang sudah di surga tidak akan pindah ke neraka hanya karena aturan ini. Kardinal ataupun paus tidak bisa memindahkan roh orang dari surga ke neraka, atau sebaliknya (Semua setuju dengan ini, bukan?)

Jangan takut... Jangan mau ditakut2i dengan tetek bengek tradisi duniawi.


http://www.news.va/en/news/vatican-issues-new-document-on-christian-burial-an
========================

Link di atas mati, karena IT Vatikan mengubah domain tanpa memperhatikan artikel lama... Ini yang baru.

http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_20160815_ad-resurgendum-cum-christo_en.html

Tuesday, April 12, 2016

Uskup Agung Filipina, Socrates Villegas, tentang Homili yang Membosankan


Ringkasan pesan Uskup Agung pada para imamnya
=====================================================
Kamis, 2 April, 2015.


Uskup Agung Socrates Villegas, Kepala Konferensi Uskup Filipina.

MANILA, Filipina. Hari ini kita melakukan perjalanan spiritual lagi ke Ruang Atas untuk mengingat imamat kita. Kita datang lagi untuk berterima kasih kepada Tuhan yang telah memanggil kita untuk menjadi imam. Tuhan mengambil risiko. Dia mempercayakan kepada kita Gereja-Nya. Semakin lama kita tinggal dalam panggilan ini, semakin jelas kita lihat bahwa dibutuhkan lebih dari kekuatan kehendak untuk tetap menjadi imam yang baik. Diperlukan anugerah. Kita membutuhkan Tuhan. Kita membutuhkan Tuhan untuk tetap fokus. Kita membutuhkan Tuhan untuk tetap berada di jalur. Kita membutuhkan Tuhan untuk melindungi kita dan memelihara kita.

Kita telah melihat banyak penyalahgunaan di antara para klerus -- penyalahgunaan alkohol, pelecehan seksual, pelecehan anak,  penyalahgunaan uang, dll. Hari ini, saya mengajak Anda untuk mengarahkan hati Anda pada penyalahgunaan lain yang sangat merajalela dan meluas di kalangan imam - penyalahgunaan homili. Ya, penyalahgunaan dari kebaikan umat yang dipaksa untuk mendengarkan homili yang panjang, berliku-liku, berulang-ulang, membosankan, tidak terorganisasi, tidak dipersiapkan (dengan baik), dan (diucapkan dengan) bergumam. Dengan nada bercanda tapi ada benarnya, umat bilang bahwa homili kita adalah salah satu penderitaan (salib) yang wajib (dipikul) setiap hari Minggu.

Jika Anda mendengarkan dengan lebih cermat apa yang dikatakan umat kita tentang homili kita, mereka tidak mengeluhkan tentang dalamnya pesan atau eksegesis ilmiah. Mereka diminta untuk tahan (mendengar), dari Minggu ke Minggu, homili kita yang tidak bisa dipahami karena pendahuluannya begitu panjang, kita tidak tahu bagaimana cara menuju langsung ke sasaran, dan kita tidak tahu bagaimana mengakhiri (homili). Persiapkanlah. Bicara yang jelas.
...
...
...
Bagaimana kita dapat bangkit dari budaya penyalahgunaan homili? Apa obatnya?

Yang pertama adalah ketulusan imam. Anda bisa berkotbah pada (umat) yang perutnya kosong jika perut pastor paroki juga kosong seperti umatnya. Homili kita akan lebih baik jika kita mengurangi kesenangan kita berbicara dan meningkatkan kesenangan kita untuk mendengarkan....

Tantangan kedua kita adalah kesederhanaan -- kesederhanaan pesan dan bahkan lebih dari itu, kesederhanaan yang lebih besar dalam kehidupan. Kesederhanaan hidup juga akan membantu kita untuk berhenti bicara tentang uang dan penggalangan dana pada homili; bicara tentang uang tidak pernah mendidik. Kesederhanaan berarti tidak menggunakan mimbar sebagai sarana untuk menyerang orang-orang yang menentang kita... ... Kesederhanaan dalam homili membuat orang menundukkan kepala dan menepuk dada karena ingin berubah, mencari belas kasih Tuhan. Menjadi sederhana adalah menjadi besar di mata Tuhan. Gaya hidup sederhana dari imam adalah homili yang paling mudah untuk dipahami.

Tantangan ketiga dan terakhir adalah panggilan untuk belajar. Membaca dan belajar tidak harus berhenti setelah seminari...
...
...
Berhati-hatilah pada setiap homili. Mereka ingin mendengar Yesus dan bukan Anda; hanya Yesus, selalu Yesus.

Berhati-hatilah dengan homili Anda. Kasihani umat Tuhan. Hentikan penyalahgunaan homili. Biarkan homili Anda mengilhami dan membuat hati bernyala-nyala.

Sumber: http://www.rappler.com/nation/88758-bishop-warning-homily-abuse

Wednesday, April 6, 2016

Pembuangan dan Pengasingan Jorge Bergoglio (Paus Fransiskus sekarang) -- Bagian 3


Disadur dr laporan wartawan CNN (lihat link di bawah)

Baca tulisan sebelumnya:  Pembuangan dan pengasingan Bergoglio (2)
--------------------------------------

Waktu datang ke Kamar No 5 di Cordoba ini, Bergoglio tidak diberi tugas khusus. Setidaknya, tak ada yang memerlukan banyak pikiran atau waktunya.

Tugas resminya adalah mendengar pengakuan dosa, duduk di kamar sambil menunggu terdengar bunyi bel, tanda bahwa ada beberapa jiwa yang merasa bersalah dan ingin melepaskan diri dari beban dosa.

Beberapa orang yang akan mengaku dosa menghindari imam dengan wajah serius ini. Ada yang bisik-bisik bahwa dia tidak sehat.

Kadang-kadang, Bergoglio mempersembahkan misa, menggantikan imam kepala gereja. Dia mencoba menyelesaikan tesis doktornya, tapi, seperti halnya dengan banyak proyek lama yang ditunda-tunda, api ilham telah redup. Dia sisihkan, tidak selesai.

Sebaliknya, ia banyak membaca dan berdoa, berpikir dan menulis, mengingat2 kejadian masa-masa kecilnya, tentang masalah-masalah yang mengganggu umat beragama. Dia melahap buku sejarah para paus yang lima jilid tebalnya.

Jika butuh perubahan suasana, Bergoglio berjalan ke Iglesia de Cristo Obrero; akan tampak sosok sendirian, berjubah hitam, yang mengikuti aliran Sungai Primero yang lembut mengalir di antara dinding batu yang tinggi.

Saya ingin tahu lebih banyak tentang apa yang dilakukan Bergoglio di Cordoba, bagaimana dia mengisi hari2nya yang panjang, maka saya kunjungi Ricardo Spinassi, yang mengurus rumah tangga di sana selama 33 tahun.


Ricardi Spinassi, pengurus rumah tangga

Spinassi bercerita, teman lamanya itu makhluk dengan kebiasaan rutin.

Dia mulai setiap hari dengan tugas yang sama, mencuci salah satu dari dua pasang nya kaus kakinya, dan makan makanan yang sama - sayuran dan ayam - untuk makan siang, setiap hari.

Di pagi hari, dia berdoa di kapel, sendirian dengan tulang-tulang orang-orang kudus Yesuit yang ditaruh di situ.

"Dia ada di sana sebelum wanita2 tua yang biasa datang ada di situ," kata salah satu Jesuit dengan tersenyum.

Pada sore hari, sementara saudara-saudara lainnya mulai tidur siang setelah makan siang, Bergoglio menundukkan kepala berdoa di depan patung St. Joseph, tokoh favoritnya sejak kecil.

"Dia berdoa seperti orang suci," kata Spinassi.



Kapel tempat Bergoglio berdoa setiap pagi.

Bergoglio sering membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, menyiapkan makanan, melipat cucian dan mengganti sprei2 yang terkena kotoran para Yesuit yang sakit atau lanjut usia.

Spinassi bercerita, Bergoglio juga pernah memberi bantuan yang lebih besar, memberinya 9.000 peso, sumbangan biarawati Jerman, untuk membeli rumahnya.

Tapi Bergoglio marah, ketika ia mengunjungi rumahnya dan menemukan kolam renang di halaman belakang. Spinassi mengatakan ada kesalahan: sebenarnya dia hanya meminta kolam di atas tanah. Tapi Bergoglio mengamuk.

"Dia sangat marah pada saya," kata Spinassi dengan rona malu. "Dia benar, sih."

Spinassi memperbolehkan saya melihat kolam renangnya, tapi dengan janji tidak mengambil fotonya. Dia tidak ingin Paus melihat itu dan marah lagi.

Ia percaya Paus tidak tinggal di Istana Apostolik, kediaman paus2 sebelumnya, karena Paus Yohanes Paulus II membuat kolam renang di situ.

(Sebenarnya tidak ada kolam renang di Istana Apostolik, tapi ada di kediaman musim panas Paus di Castel Gandolfo. Fransiskus menolak untuk tinggal di semua istana itu.)


Tulang-orang kudus Yesuit ditaruh di tempat terhormat di altar kapel.

Saya bertanya pada Spinassi apa yang dilakukan Bergoglio sebagai hiburan selama tinggal di rumah Jesuit itu. Dia menatapku, diam untuk beberapa saat.

Apakah dia menonton TV?

Tidak juga. Kecuali kalau ada pertandingan sepak bola, sesekali.

Minum koktail atau bermain kartu?

Tidak. Kalau ia mendapat wiski hadiah ulang tahun, dia memberikannya ke orang lain.

Apakah dia ngobrol dengan Yesuit2 lainnya?

Tidak. Dia terus sibuk dengan dirinya sendiri, kata Spinassi.

Bergoglio memang dikunjungi beberapa orang, rekan2 Yesuitnya yang mengkhawatirkan kesehatannya.

"Orang mendengar kabar bahwa keadaannya tidak baik," kata Liebscher, seorang Yesuit Amerika. "Pantas dikhawatirkan."

Bergoglio jadi kurus dan menghabiskan banyak waktunya sendirian.

"Dia mengerti bahwa ia harus tetap diam dan patuh karena dia dihukum," kata Rausch.

"Ada orang yang bilang dia gila," kata Velasco, salah satu Yesuit murid Bergoglio di Buenos Aires. "Itu tidak benar."

Velasco bercerita, ia mengunjungi Bergoglio pada tahun 1990, tidak lama setelah pengasingan dimulai. Mereka bicara tentang Serikat Yesus, dan Bergoglio berusaha untuk tidak melontarkan kritiknya, tetapi tidak bisa menahan diri.

Dia marah karena disisihkan seperti sepotong mebel tua dan menuduh para pemimpin Yesuit Argentina mencabut Serikat itu dari misi tradisionalnya.

Tapi dia tidak melihat ada jalan keluar dari pengasingannya.

"Jika kamu tidak setuju dengan atasan yang ditetapkan oleh Serikat," kata Velasco, "maka kamu punya masalah dengan seluruh Serikat."

Sudah biasa bagi para Yesuit, juga bagi pemimpin yang berbakat, untuk bergeser dari tempat yang tinggi ke tugas rendahan. Tetapi beberapa orang mengatakan bahwa pengiriman Bergoglio ke Cordoba jelas hukuman, dan ia menderita.

"Aku dapat melihatnya di wajahnya," ujar Pastor Juan Carlos Scannone, seorang Yesuit tua yang kenal Bergoglio sejak 1950-an. "Saya bisa melihat dia menjalani pemurnian spiritual, malam yang gelap."
-------------------



Cordoba kota kedua terbesar di Argentina, tapi bagi Bergoglio itu pengasingan dalam kesepian.

Mengapa Bergoglio merasa waktunya di Cordoba begitu berat?

Rekan2 Yesuitnya punya penjelasan yang berbeda2.

Beberapa orang mengatakan, ia merasa dipermalukan, dicampakkan dan tidak diberi tugas yang penting. Atau ia kehilangan tujuan hidupnya. Lainnya mengatakan ia melihat visinya bagi Serikat Yesus makin menjauh. Atau ia sangat merindukan hiruk pikuk Buenos Aires.

Salah seorang yang mengirim Bergoglio ke Cordoba, orang No 2 di Yesuit Argentina saat itu, dengan tegas membantah bahwa itu adalah hukuman.

"Alasan untuk memindahkan Yesuit dari satu rumah ke rumah lain, dan dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya," kata Pastor Ignacio Garcia-Mata, "merupakan kebiasaan Serikat sejak didirikan oleh St Ignatius."

Tak satu pun dari teman2 Bergoglio mengatakan kepada saya bahwa mereka pernah bicara dengannya tentang Cordoba. Seolah-olah itu terlalu mengungkit emosi atau memalukan.

Tapi saya menemukan dua wartawan yang berhasil membuat terobosan: wawancara dengan Paus sendiri.

Buku mereka, "Memahami Paus Fransiskus: Saat2 Penting Pembentukan Jorge Bergoglio sebagai Yesuit," baru saja diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Sebagai orang Katolik yang taat, wartawan Javier Camara memajang foto2 Paus Fransiskus di seluruh dinding rumahnya, salah satunya foto dia dan istrinya yang bertemu paus tahun lalu.

Camara mengundang saya dan rekan-penulisnya, Sebastian Pfaffen, ke rumahnya untuk jamuan makan tradisional Argentina. Sambil minum anggur merah dan steak (salad untuk vegetarian ini) kita bicara tentang masa2 Paus di Cordoba.
------------------------

Banyak aktivis Katolik di kota ini tidak tahu bahwa Bergoglio menghabiskan waktu di sini pada 1990-an, kata kedua wartawan ini kepada saya. Dia bukan berita besar pada saat itu dan dia tidak banyak bersosialisasi.

Sebaliknya, Paus mengatakan kepada mereka, itu adalah "masa pemurnian."

"Itu adalah masa yang gelap, ketika seseorang tidak banyak melihat. Saya banyak berdoa, saya membaca, saya menulis cukup banyak dan menjalani hidup saya," katanya. "Yang saya lakukan di Cordoba lebih berkaitan dengan kehidupan batin saya."

Paus tidak mengungkapkan banyak tentang kegelapan batinnya, tapi Camara dan Pfaffen mendapatkan dokumen yang dapat memberi wawasan ke dalam pikiran Bergoglio, bahkan mungkin jiwanya.

Bergoglio menulis beberapa esai pada saat berada di Cordoba. Salah satunya "Silencio y Palabra" - "Diam dan Kata2"

Katanya, itu ditulis untuk membantu komunitas agama mengatasi ketidaksepakatan yang serius di antara mereka. Sejak kalimat pertama, esai itu mendendangkan nada pribadi.

"Ketika kita menemukan diri kita dalam situasi yang sulit, kadang-kadang diam bukanlah suatu kebajikan," tulis Bergoglio. "Itu dipaksakan saja kepada kita tanpa pilihan."

Tetapi bahkan diam yang dipaksakan bisa menjadi rahmat, lanjutnya.

Mengambil pelajaran dari "Latihan Rohani," seperangkat doa dan perenungan yang ia pelajari puluhan tahun sebelumnya sebagai novisiat Yesuit, ia mengeksplorasi perbedaan antara mengasihani diri sendiri dan pengorbanan diri.

"Bisa terjadi bahwa seseorang merasa menjadi semacam korban spiritual," Bergoglio menulis, "mengingat bahwa 'mereka menyakiti saya tanpa alasan apapun.'"


Sementara saudara-saudaranya tidur siang, Bergoglio berdoa di depan patung St. Yusuf.
Satu-satunya cara untuk menghindari pemikiran tersebut, ia menyimpulkan, adalah dengan tetap rendah hati, tetap berdoa dan memberi Tuhan ruang untuk bekerja.

Tapi apa yang terjadi ketika Tuhan sepertinya tidak hadir di situ?

Itulah tema esai lain yang ditulis Bergoglio ketika ia berada di Cordoba, "El Exilio de Toda Carne," "The Exile of All Flesh." (Pengasingan Semua Daging). Esai ini dimulai sebagai catatan untuk retret spiritual yang dipimpin Bergoglio pada tahun 1990, beberapa bulan sebelum ia diasingkan, seperti suatu firasat.

"Orang2 yang secara sadar mengambil tanggung jawab atas pengasingannya menderita kesepian ganda," tulis Bergoglio.

Mereka merasa kesepian di tengah keramaian, bagai orang asing di negeri asing. Tapi mereka juga merasakan kesepian spiritual, "pahitnya kesendirian di hadapan Tuhan."

Rasa terasing ini dirasakan paling berat ketika berdoa, tulis Bergoglio, saat orang buangan itu menjadikan dirinya terpisah dari orang lain - di tengah ketenangan kapel yang gelap, mungkin, sebelum saudara2 Yesuitnya terbangun.

Orang yang dibuang juga merasa isolasi ini dalam doa itu sendiri, ketika ia merenungkan jarak antara keinginan dirinya dan rencana Tuhan.

Para nabi Israel merasakan rasa sakit ini, tulis Bergoglio, mengutip Yeremia, yang mengatakan kepada Tuhan ia terlalu muda untuk memikul tanggung jawab yang berat tersebut.

Namun, Yeremia menjalankan misinya, berusaha memimpin orang2 Yahudi melalui kekacauan politik. Pada akhirnya, ia dikenang hanya bagi "pertikaian" dan kontradiksi yang ditinggalkannya, tulis Bergoglio.

Misi Yeremia gagal, orang buangan ini sedih, menangis di tepi sungai Babilon. Beberapa sarjana mengatakan ia terjerumus ke dalam masa2 diam membisu. Tidak yakin bagaimana cara bisa pulang kembali ke rumah, nabi ini melalukan usaha terakhirnya: doa.

"Ini adalah doa dari seseorang yang memberikan segalanya, dan ingin - setidaknya - bahwa Tuhan akan berada di sisinya," Bergoglio menulis. "Tapi dalam kehidupan, kadang-kadang seolah-olah Tuhan menempatkan dirinya di sisi lain."

Pastor Angel Rossi: Cordoba mengubah Bergoglio menjadi lebih baik.

Hampir semua orang yang saya ajak bicara di Cordoba mendorong saya untuk mewawancarai Pastor Angel Rossi, seseorang yang oleh Paus Fransiskus disebut sebagai "anak spiritualnya."

Pada hari terakhirku di kota itu, saya berhasil mengajaknya duduk bersama di kapel Manzana Jesuitica.

Rossi terlihat sedikit mirip Bergoglio muda: sama kacamatanya dengan frame-nya yang tipis, sama rambutnya yang hitam berseling putih.

Dalam hal-hal rohani, mereka bisa disebut kembar. Rossi memimpin komunitas Jesuit di Manzana Jesuitica, serta mengurus badan amal, memberi kuliah, memimpin retret spiritual dan menulis.

Bergoglio menerima Rossi ke dalam Serikat Yesus pada tahun 1976, ketika Bergoglio masih jadi provinsial. Menurut perkiraan Rossi, mereka hidup di bawah atap yang sama selama tujuh atau delapan tahun.

Saya memintanya menjelaskan tentang Bergoglio.

Jika kamu mengenalnya dengan baik, itu hampir mustahil, jawab Rossi.

Dia rendah hati namun percaya diri, tukang pelanggar aturan tapi disiplin. Dia pendiam tapi dapat bebas berbicara mengenai pikirannya. Dia sangat spiritual, tapi banyak akal - persilangan antara orang suci di gurun dan politisi lihai. Dia adalah orang yang kuat dan mau bertindak, yang menghabiskan banyak waktu untuk doa dan perenungan.

Ini gambaran yang bagi banyak Yesuit lain mungkin cocok bagi diri mereka.

"Kontradiksi adalah bagian dari diri kita," kata Rossi.

Tapi kontradiksi itu sering membuat bingung umat Katolik di Argentina, yang menganggapnya sebagai seorang konservatif retrograde. Rossi menyebut keputusan untuk mengirim Bergoglio ke Cordoba secara "manusiawi tidak adil" dan mengatakan itu menyebabkan kekhawatiran di kalangan Jesuit muda.

Tapi Cordoba mengubah Bergoglio menjadi lebih baik, kata Rossi.

"Bisa saya katakan bahwa banyak hal yang dijalaninya dalam hidup sekarang ini berawal di sini di Cordoba."

Seperti benih yang ditanam di tanah keras musim dingin, kata Rossi. Selama berbulan-bulan, bumi terlihat tandus, tapi di musim semi, buahnya muncul.

"Mereka tersembunyi dari luar," lanjut Rossi, "tapi orang akan kagum melihat ke mana orang-orang besar ini pergi di saat-saat hening itu."

Saya bertanya: Apa yang berubah pada Bergoglio setelah ke Cordoba?

"Bukan Bergoglio yang berbeda," Rossi mengoreksi saya. "Ini adalah Bergoglio yang telah sepenuhnya berkembang, yang telah memperluas jangkauannya dan menemukan misinya."

Dua tahun setelah pengasingannya, pada bulan Juni 1992, Bergoglio diangkat menjadi uskup pembantu di Buenos Aires. Dia telah dekat dengan Uskup Agung Antonio Quarracino di kota itu, yang secara pribadi mengajukan petisi pada Paus Yohanes Paulus II atas nama anak didik nya.

Enam tahun kemudian, pada tahun 1998, Bergoglio sendiri diangkat menjadi Uskup Agung Buenos Aires, orang Katolik yang paling berkuasa di Argentina.

Itu peristiwa pembalikan yang dramatis dari kesepian dan penderitaan yang dialaminya di Cordoba, tapi Bergoglio mengatakan ia membawa pulang pelajaran penting.

"Kamu harus menjalani pengasinganmu," katanya kepada seorang politisi yang dipaksa mengundurkan diri. "Dan ketika kamu pulang kembali, kamu akan lebih bermurah hati, lebih ramah, dan ingin melayani orang-orang dengan lebih baik."

Sebagai Uskup Agung Buenos Aires, Bergoglio mengatakan, ia memastikan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Dia berkonsultasi dengan uskup pembantu dan para imamnya, meminta pendapat mereka sebelum membuat keputusan, pendekatan ini dibawanya ke kepausan.

Sebelum saya meninggalkan Jesuit Residencia, saya melihat sekali lagi ruang tempat Bergoglio tinggal, menyentuh meja dan membuka lemarinya, membayangkan lemari itu penuh jubah hitam calon paus ini.

Saya berjalan sebentar ke kapel di mana Bergoglio berdoa dalam gelap. Saya berlutut di bangku pertama - tempatnya - kayu berderit di bawah berat lututku. Dalam keheningan pagi, dengan patung-patung orang-orang kudus Yesuit menatap saya, sejenak saya merenungkan segala sesuatu yang saya pelajari di Cordoba. Lalu bangkit dan meninggalkan gereja.
---------------------

Iglesia de la La Compania di Manzana Jesuitica atau Blok Yesuit.
Saya terbang pulang dengan notebook terisi penuh; itu mimpi wartawan. Tapi saya masih punya banyak pertanyaan, dan sisa waktu yang sedikit untuk menemukan jawaban - mimpi buruk seorang editor.

Untuk mencari potongan terakhir dari teka-teki puzzle, saya pergi menemui Pastor Timotius Kesicki, ketua Konferensi Yesuit di Washington.

Kesicki adalah campuran kinetik antara energi dan ide-ide; seorang yang rendah hati meskipun kedudukannya tinggi, yang membuatnya menjadi kepala penghubung antara Yesuit Amerika Utara dan superior jenderal di Roma. Dijuluki "Paus hitam" karena memakai jubah hitam dan memimpin ordo klerus terbesar di gereja, superior jenderal tak tertandingi pengaruhnya pada Serikat Yesus.

Sementara kita bicara di kantor pusat kota Washington baru-baru ini, Kesicki melompat dari tempat duduknya mengambil sebuah buku yang menjelaskan butir penting tentang Yesuit. Sesaat sebelum kami bertemu, dia telah mengirimi salinan pedoman untuk provinsial Yesuit, untuk membantu saya memahami keputusan yang dibuat Bergoglio sebagai pemimpin Yesuit dan keputusan pemimpin Yesuit untuk dia.

Ketika saya membaca bagian tentang "menyatukan hati dan pikiran," mata saya terbelalak. Konstitusi Yesuit, yang menjadi dasar bagi pedoman itu, menyatakan:

"Siapa pun yang dipandang menjadi penyebab perpecahan di antara mereka yang hidup bersama, yang menjauhkan orang di antara mereka sendiri atau dari kepala mereka, harus dengan penuh ketegasan dipisahkan dari masyarakat itu, bagai wabah sampar yang dapat menginfeksi dengan serius jika obat tidak cepat diberikan."

Jadi, itu sebabnya Bergoglio dibuang, pikirku. Meski ia tidak melakukan kesalahan, ia jelas menyebabkan perpecahan dalam Yesuit Argentina.

Tidak mudah untuk memindahkan orang, kata Kesicki. Coba tanya saja pada CEO perusahaan sekuler bagian apa yang tersulit dari pekerjaan mereka: Mereka hampir selalu akan bilang masalah personalia. Manusia.

Pada saat yang sama, Yesuit dipanggil untuk berada di parit sosial, persimpangan ideologi2, tempat di mana Firman dan dunia berkumpul dan berkonflik. Perdebatan mengenai bagaimana mendefinisikan keberhasilan di tempat seperti itu tampaknya hampir tak terelakkan.

"Orang bisa berkata bahwa jika Anda tidak memiliki perbedaan2 pendapat seperti itu," kata Kesicki, "Anda bukan benar-benar Yesuit."

"Jadi ketegangan itu merupakan bagian dari DNA Yesuit '?" tanya saya.

"Ini adalah DNA dari Injil!" dia menjawab. "Lihatlah para rasul: Petrus mati terbalik di kayu salib; apa itu yang dia harapkan?"

Sebelumnya dalam wawancara kami, Kesicki menanyakan sesuatu yang mirip itu: "Apakah salib itu promosi?"

Pertanyaannya berdering di kepala saya selama beberapa hari. Aku berpikir tentang Bergoglio di Cordoba dan latihan rohani Jesuit yang mendesak dia untuk menyamakan dirinya dengan Kristus yang disalibkan.

Saya ingat pernah membaca sebuah wawancara dengan Bergoglio di mana ia mengungkapkan kekagumannya pada buku berjudul "A Theology of Failure," yang ditulis pada tahun 1978 oleh Pastor John Navone, Yesuit Italia-Amerika.

Navone menunjukkan bahwa, dalam istilah manusia, Yesus adalah sebuah kegagalan.

Dia dibenci oleh orang Romawi dan oleh banyak orang Yahudi sendiri. Bahkan keluarga dan pengikut Yesus tidak sepenuhnya memahami-Nya. Yang paling menyedihkan, Yesus mati mengira ia telah ditinggalkan oleh Tuhan dan telah gagal pada misi yang telah ditetapkan Tuhan.

Tapi itu bukan akhir dari cerita. Perangkat kematian dan keputusasaan - salib itu - menjadi simbol kebangkitan, kehidupan baru, dan dengan bangga ditaruh di atas gereja-gereja yang tak terhitung jumlahnya.

Pada tahun 2010, Bergoglio berkata pada dua wartawan bahwa buku Navone membawanya untuk merenungkan tema kesabaran.

"Ada kalanya hidup kita tidak diminta untuk melakukan banyak hal tapi untuk 'bertahan', menahan," katanya, "untuk menahan keterbatasan kita sendiri serta orang lain."

Saya menelepon Navone untuk bertanya tentang pengaruhnya pada pikiran Paus: bagaimana Bergoglio yang menderita itu menjadi Fransiskus yang penyabar.

Saya tanya berapa banyak dia tahu tentang pengasingan Bergoglio ini.

Navone tahu semua tentang Cordoba.

"Ada titik persimpangan yang terberkati antara teologi dan krisis," kata dia. "Semacam cahaya dalam gelap baginya."
--------------

Di kemudian hari, Navone dan saya bicara pada hari Paus Fransiskus membuat umat Katolik lebih mudah membatalkan pernikahan mereka, dan sekitar seminggu setelah ia mendorong para imam untuk mengampuni wanita yang telah melakukan aborsi.

Navone dan saya berbicara tentang belas kasihan, dan bagaimana sulitnya memaafkan orang lain jika Anda tidak akrab dengan kegagalan Anda sendiri. Kami bicara tentang Paus yang bepergian ke daerah pinggiran karena ia sendiri dikirim ke sana. Dan kami bicara tentang 'kebebasan batinnya" Paus Fransiskus yang jelas terlihat, penolakannya untuk mengikuti harapan orang lain.

Menurut pengakuannya sendiri, Bergoglio bukan orang yang sempurna ketika ia meninggalkan Cordoba. Dia tidak sepenuhnya berdamai dengan Yesuit sampai setelah ia terpilih menjadi Paus pada tahun 2013.

Tapi caranya berdoa, berpikir dan bertindak, semua dibentuk oleh Serikat Yesus - dan, seperti semua Yesuit, ia percaya bahwa menjadi baik butuh lebih dari menghindari konflik dan menempatkan beberapa lembar uang dalam kantong koleksi.

Iman adalah disiplin harian, membutuhkan latihan spiritual bagi jiwa, bahkan ketika - atau terutama ketika - jiwa Anda menderita, 800 km dari rumah, sendirian di kamar merah yang kecil itu.

Saya tidak tahu persis apa yang terjadi pada Bergoglio pada malam2nya yang gelap di Cordoba. Saya mungkin tidak akan pernah tahu.

Tapi ketika saya melihat Paus sekarang di Lapangan Santo Petrus, mengkhotbahkan belas kasihan bagi segala macam orang berdosa, saya tidak bisa tidak ingat lagi pada orang buangan itu, yang berlutut dalam kegelapan kapel, sendirian, dengan kejutan2 dari Tuhan.

===========================

Sumber:  http://edition.cnn.com/interactive/2015/09/specials/pope-dark-night-of-the-soul/

===========================



Tuesday, April 5, 2016

Pembuangan dan Pengasingan Jorge Bergoglio (Paus Fransiskus sekarang) -- Bagian 2

Disadur dr laporan wartawan CNN (lihat link di bawah)
--------------------------------------
Pada bagian pertama diceritakan bagaimana Bergoglio (sekarang paus) menjadi kepala Yesuit Argentina pada usia 36 tahun. Dia menghindari berkecimpung dalam politik langsung untuk menentang atau membela junta militer brutal saat itu. Tapi dua pastor di bawahnya melawan, tetap memusuhi militer secara terbuka, dan ditangkap.

Baca dahulu: Pembuangan dan pengasingan Bergoglio (1)
-----------------------------

Cara ajaib Bergoglio mendidik murid seminari: perah susu sapi, piara babi.


Waktu saya mendengar tentang "peternakan Yesuit" di dekat Cordoba, saya membayangkan seorang imam yang mengenakan topi koboi, dengan setangkai jerami antara giginya. Sayangnya, peternakan yang pernah mendanai misi Yesuit ini sekarang jadi museum, tanpa sapi.

Bergoglio waktu itu berusaha membangkitkan kembali peternakan itu, dengan memasukkan mata pelajaran akademik yang aneh, pertanian dan peternakan, ketika ia menjadi rektor di seminari Yesuit di Buenos Aires.

Pastor Alfonso Gomez dr Universitas Katolik Cordoba mengingat hari-hari itu dengan senyum2, seolah-olah dia masih tidak bisa percaya ingatannya sendiri. Ada cerita tentang babi yang hampir lolos keluar.

"Menyenangkan," kata Gomez dengan senyum lebar. "Sulit juga, tapi banyak dari kita yang suka. Sistemnya terorganisasi dengan sangat baik."

Itu penugasan yang ideal bagi Bergoglio ini: membentuk Yesuit muda.

Setelah melayani di jabatan2 tinggi seperti provinsi, banyak pastor Yesuit "diturunkan" pangkatnya untuk mencegah apa yang disebut karierisme (mengejar karier dan ambisi), dosa yang disebut Ignatius "ibu dari segala kejahatan."

-----------------

Swinnen menggantikan Bergoglio sebagai provinsial dan temannya dijadikan rektor Colegio Maximo, suatu keputusan yang akan memecah provinsi ini selama beberapa puluh tahun.

Gaya Bergoglio dalam membentuk Yesuit, seperti sistem ketat yang dikuasainya di Cordoba, itu dikelola dengan mendetail. Dia keras mengenai ketepatan waktu. Yang terlambat akan disuruh membersihkan dapur.

"Jika melanggar salah satu aturan, selalu ada semacam sanksi sosial atau sanksi moral," kata pastor Rafael Velasco, yang dulu belajar di Colegio Maximo.

"Sangat sedikit waktu untuk kebebasan. Lebih seperti biara daripada rumah Yesuit."

Bergoglio menganjurkan murid-muridnya untuk tidak membaca teologi pembebasan dan memindahkan profesor2 yang menganjurkan itu, menyingkiri para Yesuit yang main politik.

Ia lebih suka cara yang lebih langsung membantu orang miskin, membangun peternakan di sekitar seminari, menyuruh Yesuit2 muda memerah susu sapi dan memanen tanaman, dan makanan yang dihasilkan itu disumbangkan pada perkampungan2 kumuh di sekitarnya.

Para murid seminari akan langsung pindah dari ruang kelas ke kandang babi, pengingat yang menyengat dari moto Yesuit untuk "menemukan Tuhan dalam segala hal."

Tapi Yesuit yang lebih intelektual lebih suka ruang kelas daripada sapi. Mereka ingin lebih banyak kebebasan intelektual dan tugas-tugas lebih sedikit. Perpecahan dalam provinsi pun mulai muncul.

Bahkan Yesuit di luar Argentina - terutama mereka yang mendukung teologi pembebasan - bingung dengan metode Bergoglio ini.

Tapi Bergoglio berpribadi kuat. Setelah ia membuat keputusan, dia jarang bisa dibujuk untuk mempertimbangkan kembali.

Yang lebih menyusahkan bagi provinsi adalah pengikutnya yang menghormati setiap kata Bergoglio sebagai tulisan suci. Dan, setelah memegang jabatan tinggi Yesuit selama 15 tahun, ia punya cukup banyak pengikut, mungkin 40% dari provinsi.

Pastor Arthur Liebscher, seorang Yesuit Amerika yang belajar di Argentina selama tahun 1980an, ingat bahwa para "pengawal" Bergoglio itu terlalu yakin akan diri sendiri dan sembrono.

"Nabinya baik-baik saja," katanya sambil tertawa, "tetapi murid-muridnya benar-benar menyulitkan."

Para pengikut Bergoglio ini yakin bahwa pemimpin mereka telah mengukir satu jalan yang benar. Yesuit yang lain tidak begitu yakin.


Bergoglio kadang2 mengurbankan misa di Iglesia de la Compania, gereja dalam kompleks Yesuit.


--------------------------

Pada 1986, masa tugas Bergoglio enam tahun menjadi rektor seminari telah berakhir. Para ahli teologi pembebasan, yang dulu dicopotnya dari posisi kekuasaan, sekarang mengatur provinsi, berdasar petunjuk pemimpin Yesuit di Roma.

Salah satu tugas pertama mereka adalah memutuskan apa yang harus dilakukan pada Bergoglio.

Mereka mengirimnya ke Jerman untuk menyelesaikan tesis doktornya, mungkin dengan harapan bahwa dengan kepergiannya, permusuhan di provinsi tersebut akan berkurang. Suasana baru mungkin juga akan melepaskan pikiran Bergoglio dari ide pembentukan insan Yesuit.

Tapi Bergoglio yang sudah berusia 50 tahun, dengan puluhan tahun pengalaman pastoral, sekarang terjebak di tumpukan debu perpustakaan Jerman. Pada malam hari, ia memilih berjalan-jalan di dekat bandara, melambaikan tangan pada pesawat2 yang menuju Buenos Aires. Dia gelisah; rindu pulang kampung halamannya.

Hanya tiga bulan di Jerman, Bergoglio memutuskan untuk pulang, tindakan pemberontakan kecil terhadap atasannya. Mereka membiarkan dia kembali dan mengajar di seminari di Buenos Aires. Waktu pulang, dia tampak seperti orang yang berbeda, kata beberapa pastor Yesuit; rambutnya kusut; kukunya panjang tak terawat.

Tapi kehadiran Bergoglio segera menghidupkan kembali perdebatan lama mengenai bagaimana menjadi seorang Yesuit yang seharusnya.

Bergoglio mencoba untuk menghindar, memimpin dengan contoh, bukan dengan berdebat. Tapi tetap terjadi perdebatan, meniru contoh politik Amerika Latin dengan kampanye yang berputar di sekitar si orang kuat. Para pengikut setianya bentrok dengan atasan Yesuit yang baru, dan Bergoglio tidak banyak berusaha untuk menghentikannya.

"Kesan saya, ia menyadari tujuan besar yang dimilikinya," kata Liebscher, "tapi dia tidak menyadari bahwa, dalam proses ini, ia menginjak kaki banyak orang terhormat."

Akhirnya, bos2 Bergoglio memutuskan mereka sudah cukup bersabar. Mereka mengirimnya ke Cordoba, 800 km jauhnya.

Bruder Louis Rausch ingat dia menelepon Bergoglio segera setelah ia mendengar kabar itu, tahun 1990.

"Kamu sudah mengepak koper?" tanyanya.

Ketika saya bertanya pd Rausch seberapa jauh dia mengenal calon paus ini, dia menarik surat dari sakunya. Di dalamnya, Bergoglio menggodanya tentang keluarganya yang jadi mirip orang desa. Bruder Rausch lah yang mengajar pertanian di seminari Yesuit.

Sekarang Rausch mengurus Iglesia de la Compania, gereja Yesuit. Dia ingat, Bergoglio tidak menjawab pertanyaannya tentang persiapan ke Cordoba. Tapi Rausch mengerti apa arti diamnya itu.

"Dia tahu bahwa masa2 di depannya akan sangat sulit."

Sebelum mereka menutup pembicaraan, Bergoglio bertanya: Apakah kamu sudah berdoa untuk saya?
========================

LanjutanPembuangan dan pengasingan Paus (3)

========================